05 August 2018

Pengertian Politik Etis, Latar Belakang, Tujuan, Isi, Penyimpangan dan Dampak Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah politik yang diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (di daerah jajahan). Politik etis (politik balas budi) merupakan suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Politik etis ini muncul pada tahun 1890 atas desakan golongan liberal dalam parlemen Belanda. Mereka yang berhaluan progresif tersebut memberikan usulan agar pemerintah Belanda memberikan perhatian kepada masyarakat Indonesia yang telah bersusah payah mengisi keuangan negara Belanda melalui program tanam paksa. Desakan ini muncul dari pemikiran bahwa negeri Belanda telah berutang banyak atas kekayaan bangsa Indonesia yang dinikmati oleh Belanda.
Desakan untuk melaksanakan politik etis mendapat dukungan dari pemerintah Belanda. Dalam pidato negara pada tahun 1901, Ratu Belanda, Wihelmina mengatakan: “Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari penduduk Hindia Belanda”. Pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal dengan Politik Etis atau Politik Balas Budi.
Politik etis mulai dilakukan pada 1901 yang berisi tiga tindakan, yaitu edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah C.Th. van Deventer yang merupakan seorang politikus. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan menulis karangan dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan.

Latar Belakang Politik Etis

Adapun latar belakang munculnya politik etis, diantaranya yaitu
  • Sistem tanam paksa menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia.
  • Sistem ekonomi liberal tidak memperbaiki kesejahteraan rakyat.
  • Belanda melakukan penekanan dan penindasan terhadap rakyat.
  • Rakyat kehilangan tanahnya.
  • Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri.

Tujuan Politik Etis

Tujuan politik etis yaitu untuk memajukan tiga bidang yaitu edukasi dengan menyelenggarakan pendidikan, Irigasi dengan membangun sarana dan jaringan pengairan, dan transmigrasi/imigrasi dengan mengorganisasi perpindahan penduduk.
Politik etis yang dilakukan Belanda dengan memperbaikan bidang irigasi, pertanian, transmigrasi, dan pendidikan, sekilas memang kelihatan mulia. Tapi dibalik itu, tujuan program-program tersebut dimaksudkan untuk kepentingan Belanda sendiri.

Isi Politik Etis

Menurut Van Deventer, ada 3 cara untuk memperbaiki nasib rakyat yang disebut juga dengan trilogi van deventer, adapun isi politik etis diantaranya yaitu:

Edukasi (Pendidikan)

Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu pada anak-anak pegawai negeri dan orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 ada 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling dengan mata pelajaran yang diajarkan seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar.
Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura sudah terdapat 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 dari Zending. Pada 1892 jumlah muridnya ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi, diantaranya yaitu:
  • HIS (Hollandsch Indlandsche School) setara SD
  • MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs) setara SMP
  • AMS (Algemeene Middlebare School) setara SMU
  • Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra
  • Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada 1902, didirikan sekolah pertanian di Bogor (sekarang IPB).

Irigasi (Pengairan)

Sarana vital bagi pertanian yaitu pengairan, oleh pihak pemerintah telah dibangun sejak 1885 seluas 96.000 bau untuk irigasi Berantas dan Demak, pada 1902 luasnya menjadi 173.000 bau. Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah.

Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)

Dengan adanya transmigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, akan bisa diolah untuk menambah penghasilan. Selain itu, untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa. Pada 1865, jumlah penduduk Jawa dan Madura sebanyak 14 juta jiwa. Pada 1900, telah berubah menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatra Utara karena adanya permintaan besar akan tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedangkan ke Lampung memiliki tujuan untuk menetap.

Penyimpangan Politik Etis

Pada dasarnya kebijakan politik etis yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Namun, dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Adapun penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan politik etis, diantaranya yaitu:
Penyimpangan dalam Bidang Edukasi
Pembangunan sekolah-sekolah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Namun pendidikan ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat hanya diperuntukan untuk anak pegawai negeri dan orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yakni pengajaran di sekolah kelas I untuk anak pegawai negeri dan orang yang berharta dan di sekolah kelas II kepada anak pribumi dan umumnya.
Penyimpangan dalam Bidang Irigasi
Pelaksanaan pengairan (irigasi) hanya ditujukan pada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi. Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Namun pengairan tersebut tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, tapi untuk mengairi perkebunan milik swasta asing dan pemerintah kolonial.
Penyimpangan di Bidang Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan milik Belanda. Hal tersebut karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain sebagainya. Mereka dijadikan kuli kontrak.
Migrasi ke Lampung bertujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, lalu dikembalikan pada mandor atau pengawas.

Dampak Politik Etis Bagi Bangsa Indonesia

Adapun dampak adanya politik etis bagi bangsa indonesia diantaranya yaitu:
  • Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan rel kereta api yang memperlancar perpindahan barang dan manusia
  • Pembangunan infrastruktur pertanian dalam hal ini bendungan yang nantinya bermanfaat bagi pengairan.
  • Berdirinya sekolah-sekolah, seperti Hollandsch Indlandsche School(HIS) setara SD untuk kelas atas dan yang untuk kelas bawah dibentuk sekolah kelas dua, Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs (MULO) setara SMP, Algemeene Middlebare School (AMS) setara SMU, Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra dan Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik), School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) sekolah kedokteran.
  • Adanya berbagai sekolah mengakibatkan munculnya kaum terpelajar atau cendikiawan yang nantinya menjadi pelopor Pergerakan Nasional seperti contoh Soetomo mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo.

Pendukung Politik Etis

Berikut ini nama-nama tokoh pendukung Politik Etis usulan Van Deventer, diantaranya yaitu:
  • P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial).
  • F. Holle, banyak membantu kaum tani.
  • Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia.
  • Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
  • Leivegoed,  jurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia.
  • Van Kol, banyak menulis tentang keadaan pemerintahan Hindia Belanda.
  • Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar berisi kritikan terhadap pelaksanaan tanam paksa di Lebak, Banten.