05 September 2018

Sejarah Lengkap Berdirinya Kerajaan Makassar, Raja, Dan Kehidupan Politik Ekonomi Sosial Budaya

Kerajaan Makassar atau Kesultanan Makassar adalah kesultanan Islam di Sulawesi bagian selatan pada abad ke-16 Masehi yang pada mulanya masih terdiri atas sejumlah kerajaan kecil yang saling bertikai. Daerah ini kemudian dipersatukan oleh kerajaan kembar yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar. Cikal bakal Kesultanan Makassar adalah dua kerajaan kecil bernama Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo ini terletak di semenanjung barat daya Sulawesi dengan kedudukan strategis dalam perdagangan rempah-rempah. Seperti yang terjadi di bandar rempah-rempah lainnya, para pedagang muslim juga berupaya menyebarkan ajaran Islam di Makassar.

Islam dan Berdirinya Kesultanan Makassar

Pada mulanya Upaya penyebaran agama Islam dari Jawa ke Makassar tidak banyak membawa hasil. Begitu pula usaha Sultan Baabullah dari Ternate yang mendorong penguasa Gowa-Tallo agar memeluk agama Islam. Islam baru bisa berpijak kuat di Makassar berkat upaya Datok Ribandang dari Minangkabau.
Pada tahun 1650, Penguasa kerajaan Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Dalam perjalanannya kerajaan masing-masing, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga akhirnya pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar tersebut kemudian menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba). Akhirnya Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo ini meleburkan.
Faktor yang menyebabkan kesultanan makassar menjadi besar diantaranya yaitu letaknya strategis; miliki Pelabuhan yang baik dan jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.

Raja-Raja Kesultanan Makassar

Adapun Raja-raja yang pernah memerintah Kesultanan Makassar, diantaranya yaitu:

Sultan Alauddin (1591-1639 M)

Sultan Alauddin sebelumnya bernama asli Karaeng Matowaya Tumamenaga Ri Agamanna dan merupakan raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam.Pada pemerintahan Sultan Alauddin, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran dan perdagangan.

Sultan Muhammad Said (1639-1653 M)

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said, perkembangan Makassar maju pesat sebab Bandar transit, bahkan Sultan Muhammad Said juga pernah mengirimkan pasukan ke Maluku untuk membantu rakyat Maluku berperang melawan Belanda.

Sultan Hasanuddin (1653-1669 M)

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar mencapai masa kejayaan. Makassar berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan memperluas wilayah kekuasaannya ke Nusa Tenggara (Sumbawa dan sebagian Flores). Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur, karena keberaniannya dan semangat perjuangannya untuk Makassar menjadi besar.

Kehidupan Politik Kerajaan Makassar

Kerajaan Makassar tumbuh menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal tersebut disebabkan karena letak Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi merupakan salah satu aspek kebudayaan berlayar yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan.
Islam masuk ke Makassar melalui pengaruh Kesultanan Ternate yang giat memperkenalkan Islam disana. Raja Gowa yang bernama Karaeng Tunigallo selanjutnya masuk Islam setelah menerima dakwah dari Dato Ri Bandang. Kemudian Karaeng Tunigallo menggunakan gelar Sultan Alaudin Awwalul-Islam (1605-1638).
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo (Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar (1660-1669). Bone merupakan wilayah kekuasaan Makassar yang dipimpin oleh Aru Palakka (Arung Palakka) menawarkan kerjasama untuk membantu Belanda. Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan.
Keberaniannya melawan Belanda membuat Sultan Hasanuddin dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” oleh orang-orang Belanda sendiri. Dalam perang ini Hasanuddin tidak berhasil mematahkan ambisi Belanda untuk menguasai Makassar. Dengan terpaksa, Makassar harus menyetujui Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya sesuai dengan keinginan Belanda, isi perjanjian Bongaya, yaitu:
  • Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar
  • Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar
  • Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar
  • Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Meskipun perjanjian sudah ditandatangani, namun Sultan Hasanuddin tetap berjuang melawan Belanda. Setelah Benteng Sombaopu jatuh ke tangan Belanda, Sultan Hasanuddin turun takhta. Kekuasaannya diserahkan kepada putranya, Mappasomba. Belanda berharap Mapasomba bisa bekerja sama, tapi sebaliknya, ia meneruskan perjuangan ayahnya.
Rakyat Makassar marah atas keputusan Perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat Makassar makin berkobar dan berlangsung hampir dua tahun. Banyak pejuang Makassar pergi ke daerah, seperti Banten, Madura dan sebagainya guna membantu daerah-daerah bersangkutan dalam upaya mengusir VOC. Pejuang tersebut di antaranya Karaeng Galesung, Monte Marano yang membantu perjuangan rakyat di Jawa Timur.
Sementara itu, Aru Palaka semakin leluasa untuk menguasai daerah Soppeng dengan pengawasan dan pantauan dari VOC. Setelah perjuangan rakyat Makassar benar-benar padam, Makassar pun jatuh ke tangan VOC secara keseluruhan. Sebutan Makasar sebagai pusat perdagangan bebas, lenyap begitu saja.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Makassar

Makassar tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena letaknya di tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar dari Cina, serta berlian dari Banjar.
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian pula Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan bisa dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris dan Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menyebabkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; karena di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu’e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Makassar

Kerajaan Makasar sebagai kerajaan maritim dengan sumber kehidupan masyarakat pada aktivitas pelayaran perdagangan maka sebagian besar kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut. Hasil kebudayaan yang terkenal dari Makasar adalah perahu Pinisi dan Lambo. Selain itu juga berkembang kebudayaan lain seperti seni bangun, seni sastra, seni suara dan sebagainya.

Peninggalan Kerajaan Makassar

Berikut beberapa peninggalan kesultanan makassar atau kerajaan makassar, diantaranya yaitu:

Istana Balla Lompoa

Istana ini teletak di Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, yang Didirikan oleh Raja Gowa ke-35 I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonionompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Tumenangari Sungguminasa. Saat ini, istana dengan 54 tiang, enam jendala di sisi kiri dan empat jendela di depan difungsikan sebagai Museum Balla Lompoa yang menyimpan benda-benda kerajaan.

Masjid Katangka

Masjid al-Hilal atau lebih dikenal dengan Masjid Katangka merupakan Masjid Kerajaan Gowa yang dibangun pada abad ke-18. Penamaan Katangka berasal dari bahan dasar masjid yang dibuat dari pohon katangka. Masjid ini berada di sebelah utara Kompleks Makam Sultan Hasanuddin yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa saat itu. Meski sederhana, masjid ini diyakini sebagai masjid tertua di Sulawesi Selatan.

Benteng Ujung Pandang

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa kesembilan I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna. Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas dari Pegunungan Karst, Maros.